Pengertian Megaurban, Megapolitan, Metropolitan

Pengertian Megaurban, Megapolitan, Metropolitan

Konsep Megaurban
Mega urban adalah dua kota yang terhubungkan oleh jalur transportasi yg efektif sehingga menyebabkan wilayah di koridornya berkembang pesat dan cenderung menyatukan secara fisikal dua kota utamanya.

Karakteristik Megaurban
  • Kepadatan penduduk tinggi
  • Penduduk masih tergantung pd sektor pertanian dengan pemilikan lahan sempit
  • Transformasi pertanian ke non pertanian
  • Intensitas mobilitas penduduk tinggi
  • Interaksi desa-kota tinggi
  • Meningkatnya partisipasi TKW
  • Percampuran guna lahan yg intensif

Pembagian Ruang Ekonomi Megaurban
  • Kota besar : kota yg mendominasi kegiatan ekonomi yg terdiri dari satu atau kota yg sangat besar
  • Pinggiran kota : terjadi penglaju harian dengan jarak 30 km
  • Desa kota : kegiatan campuran pertanian dan non pertanian, terdapat di sepanjang koridor antara dua kota besar, populasi penduduk padat, bermata pencaharian padi sawah
  • Desa dengan kepadatan penduduk tinggi : basis perekonomian padi sawah
  • Desa dengan kepadatan penduduk rendah : bagian paling luar


Megapolitan
Megapolitan adalah kota dengan jumlah penduduk besar dan ditandai oleh kenampakan inti-inti pertumbuhan yang saling terkait dengan pola jaringan transportasi.

Metropolitan
Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa

Dampak Metropolitan
  • Kurang berfungsinya kota sbg katalisator pembangunan wilayah
  • Kertimpangan kota semakin parah
  • Tertinggalnya kota-kota menengah dan kota kecil

Metropolitan di Indonesia
  • MAMMINASATA (Kota Makasar, Kabupaten Maros, Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar)
  • PALEMBANG (Kota Palembang, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Komering Ilir)
  • SARBAGITA (Kota Denpasar, Kab. Badung, Kab. Tabanan, Kab. Gianyar)
  • BANDUNG (Kota Bandung, Kab.Bandung, Kota Cimahi, Kab. Sumedang)
  • GERBANGKERTASUSILA (Kab.Gresik, Kab. Bangkalan, Kota Mojokerto, Kab. Mojokerto, Kota Surabaya, Kab. Sidoarjo, Kab. Lamongan)
  • JABODETABEK (Kota Jakarta, Kota Bogor, Kab.Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kab. Tangerang, Kota Bekasi, Kab.Bekasi)
  • MEBIDANG (Kota Medan, Kota Binjai, Kab.Deli Serdang)
  • SEMARANG (Kota Semarang, Kab.Semarang, Kab.Kenda, Kab.Demak)

Pengertian Urban Extension

Pengertian Urban Extension
Urban Extension
Urban extension adalah perluasan kota yang terdiri dari urban reclassification, urban annexation, dan urban sprawl.

Urban Reclassification
Urban reclassification merupakan proses perumusan kembali batas-batas administrasi kota dengan cara memperluas wilayahnya dengan tujuan untuk mengakomodasikan permukiman maupun struktur-struktur kegiatan di masa yang akan datang. Urban reclassification disebut juga pseudo urbanization (urbanisasi semu). Jadi urban reclassification merupakan proses penambahan areal kekotaan secara yuridis administratif.

Urban Annexation
Urban annexation merupakan perluasan kota karena adanya penggabungan beberapa kota menjadi satu kota besar (=megapolitanisasi = kekoalisian kekotaan).

Urban Sprawl
Urban sprawl merupakan gejala perembetan sifat fisik kekotaan ke arah luar

Tipe Urban Sprawl

  • Concentric develoment/low density continous development
  • Ribbon development/lineair development/axial development
  • Leap frog development/checker board development

Dampak Urban Sprawl

  • Dampak Terhadap Pemanfaatan Lahan Pertanian
  • Hilangnya lahan pertanian
  • Gejala komersialisasi dan intensifikasi pertanian
  • Menurunnya produksi dan produktivitas

Dampak Terhadap Pemanfaatan Lahan Permukiman

  • Pertambahan luas lahan permukiman
  • Pemadatan bangunan
  • Kecenderungan segregasi rumah
  • Merebaknya permukiman liar

Dampak Terhadap Harga Lahan

  • Karakteristik fisikal lahan
  • Keberadaan peraturan
  • Karakteristik pemilik lahan
  • Spekulasi lahan
  • Peranan pengembang
  • Kondisi moneter nasional

Dampak Terhadap Lingkungan Abiotik

  • Penurunan kualitas lingkungan abiotik yang disebabkan oleh polusi udara
  • Penurunan kualitas lingkungan abiotik yang disebabkan oleh polusi tanah
  • Penurunan kualitas lingkungan abiotik yang disebabkan oleh polusi air
  • Penurunan kualitas lingkungan abiotik yang disebabkan oleh kerusakan lahan

Dampak Terhadap Lingkungan Biotik

  • Perubahan lingkungan biotik karena intra environmental elements
  • Perubahan lingkungan biotik karena inter environmental elements

Dampak Terhadap Lingkungan Sosio Kultural

  • Penurunan kualitas lingkungan permukiman
  • Gejala dekohesivitas sosial
  • Gejala pendesakan petani
  • Diversifikasi mata pencaharian
  • Alih mata pencaharian
  • Penurunan jumlah petani
  • Perubahan gaya hidup

Permasalahan Kota

Permasalahan Kota
Kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan.


Permasalahan Kota
  • Kemiskinan yang merebak
  • Pengadaan perumahan bagi penduduk miskin
  • Perkembangan kenampakan fisik kota yg tdk terkendali
  • Penyediaan lapangan kerja
  • Degradasi kualitas lingkungan kota
  • Tingginya arus urbanisasi
  • Kesemrawutan lalin transportasi
Penyebab Eksplosif Pertumbuhan Kota
  • Industrial booming
  • Revolusi transportasi
  • Revolusi telekomunikasi
  • Transformasi politik

Makna Kota Menurut Para Ahli

Makna Kota Menurut Para Ahli

Makna Kota Secara Fisik Morfologi
Kota secara fisik morfologi dimaknai sebagai daerah tertentu dengan karakteristik pemanfaatan lahan non pertanian, pemanfaatan lahan yang sebagian besar tertutup oleh bangunan baik bersifat residensial maupun non residensial (secara umum tutupan bangunan/building coverage, lebih besar dari pada tutupan vegetasi/vegetation coverage), kepadatan bangunan khususnya perumahan yang tinggi, pola jaringan jalan yang kompleks, dalam satuan permukiman yang kompak dan relatif lebih besar dari satuan permukiman kedesaan di sekitarnya.

Makna Kota Berdasarkan Jumlah Penduduk
Kota berdasarkan jumlah penduduk dimaknai sebagai daerah tertentu dalam wilayah negara yang mempunyai aglomerasi jumlah penduduk minimal yang telah ditentukan dan penduduk tersebut bertempat tinggal pada satuan permukiman yang kompak

Makna Kota Berdasarkan Kepadatan Penduduk
Makna kota berdasarkan kepadatan penduduk diartikan sebagai suatu daerah dalam wilayah negara yang ditandai oleh sejumlah kepadatan penduduk minimal tertentu, kepadatan penduduk tersebut tercatat dan teridentfikasi pada  satuan permukiman yang kompak.

Makna Kota Berdasarkan Fungsinya Dalam Suatu Organic Region
Berdasarkan fungsinya dalam suatu organic region maka kota diartikan sebagai suatu wilayah tertentu yang berfungsi sebagai pemusatan kegiatan yang beraneka ragam dan sekaligus berfungsi sebagain simpul kegiatan dalam peranannya sebagai kolektor dan distributor barang dan jasa dari wilayah hinterland yang lebih luas.

Makna Kota Berdasarkan Sosio Kultural
Kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya.

Batas Administrasi dan Batas Fisik Morfologi
Batas fisik morfologi tidak selalu berhimpitan dengan batas yuridis administrasi

  • Apabila batas fisik morfologi jauh dari batas yuridis administratif maka disebut under boundaries city. 
  • kebalikannya disebut over boundaries city
  • Bila berimpit disebut true boundaries city

Pengertian Kota, Sosiologi Kota, dan Perbedan Kota dan Desa Menurut Para Ahli

Pengertian Kota, Sosiologi Kota, dan Perbedan Kota dan Desa Menurut Para Ahli

Kota adalah pusat kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang pendekatan. Aspek tersebut memberikan gambaran bahwa kota menjadi tempat manusia atau masyarakat berperilaku mengisi aktifitas kehidupannya sehari-hari. Dengan berperilaku manusia dapat dilihat melalui teropong sosiologi maupun antropologinya, atau dapat juga dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi pada perilaku sosio-antropologinya (manusia dan struktur sosialnya).

Perbedaan cara pandang sosiologi dan antropologi muncul pada human relations nya: Sosiologi, secara kontras tidak membicarakan orang tertentu dari kota akan tetapi lebih pada keterikatan hubungan personal dengan rural life. Cara pandang ini berkembang lebih awal dalam ilmu sosial dengan pemikiran evolusi sosial. Hal itu merupakan refleksi studi “Suicide” dari Emile Durkheim (1897), dengan konsep anomie atau state of normlessness. Anomie suicide merupakan karakter bagi mereka yang hidup terisolasi, dari dunia impersonal. Ferdinand Tönnies (1887), membuat jarak antara Gemeinschaft (community) dan Gesellschaft (society) konsep dasarnya, secara kontras untuk mendalami hubungan kontraktual pertalian karakter masyarakat kapitalis dan aktivitas bersama dari masyarakat feudal. Sedangkan Louis Wirth (1938) dalam “Urbanism as a way of life”, mengembangkan teori pengaruh dalam organisasi sosial dan perilakunya urban life. Louis Wirth, menyatakan bahwa urbanisme akan baik bila pendekatannya dilakukan dari tiga perspektif (cara pandang) yang saling berhubungan (inter-related): 1. as a physical structure (struktur fisiknya); 2. as a system of social organization (sistem dari organisasi sosialnya); dan 3. as a set of attitudes and ideas and a “constellation of personalities” (tatanan perilaku dan gagasan serta “kumpulan dari kepribadian”). Antropologi, lebih pada pertalian keluarga dan kelompok yang similar terkait dengan urban setting. Kota-kota di Afrika Barat, kehidupan perkotaan hampir keseluruhannya diorganisasi oleh klan (marga) dan kesukuan. Hal itu juga terdapat di Indonesia, China, dan Taiwan.

Pengertian kota berdasarkan bidang keilmuan masing-masing. Kota adalah permukiman yang permanen relatif luas, penduduknya padat serta heterogen, dan memiliki organisasi-organisasi politik, ekonomi, agama, dan budaya (Sirjamaki, 1964). Ditegaskan pula oleh Hamblin (1975), kota adalah tempat yang dihuni secara permanen oleh suatu kelompok yang lebih besar dari suatu klen. Di kota terjadi suatu pembagian kerja, yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok sosial dengan diferensiasi fungsi, hak, dan tanggung jawab. Dengan pengertian ini, Jones (1966) menegaskan bahwa kota tercakup unsur keluasan wilayah, kepadatan penduduk yang bersifat heterogen dan bermata pencaharian non pertanian, serta fungsi administratif-ekonomi-budaya. Sebaliknya, kota bagi orang Islam pada dasarnya adalah, permukiman tempat seseorang dapat memenuhi kewajiban-kewajiban agama dan sosialnya secara keseluruhan (Grunebaum, 1955:142-144). Istilah kota dalam bahasa Arab ‘madina’ berarti suatu kota (city) suatu permukiman luas tempat terjadi konsentrasi fungsi-fungsi keagamaan, politik, ekonomi, dan fungsi-fungsi lainnya. Suatu ‘madina’ pada prinsipnya adalah suatu ibukota administratif, selalu merupakan ibukota suatu nahiyyah atau rustaaq distrik (IM. Lapidus, 1969:69-73). Dari sudut ekonomi, kota adalah suatu permukiman di mana penduduknya lebih mengutamakan kehidupan perdagangan dan komersial dari pada pertanian. Karena itu Max Weber (1966:66) memberikan pengertian kota ialah ‘tempat pasar’ (market place), sebuah ‘permukiman pasar’ (market settlement). Kota ialah sebuah permukiman permanen dengan individu-individu yang heterogen, jumlahnya relatif luas dan padat menempati areal tanah yang terbatas berbeda halnya dengan apa yang disebutkan desa-desa, kampung-kampung dan tempat-tempat permukiman lainnya (Louis Wirth). Namun MAJ Beg (1965:32) menekankan sebagai permukiman dengan aspek kependudukan yang padat, heterogen termasuk tentunya kelompok yang telah mengenal tulisan yang biasanya berada dalam masyarakat non-agraris. Pada bagian lain, Peter J.M Nas (1986:14) menegaskan, bahwa kota itu adalah: - suatu lingkungan material buatan manusia; - suatu pusat produksi; - suatu komunitas sosial; - suatu komunitas budaya; dan - suatu masyarakat terkontrol. Sedangkan Paul Wheatley (1985:1), memberikan penjelasan sebagai berikut: - suatu arena tempat untuk masyarakat yang saling berperan antara kedua keinginan baik yang kreatif maupun yang destruktif dalam disposisi dan ruang; - untuk peningkatan lokal suatu yang karakteristik bagi gaya kehidupan, produksi dan pemikiran; - suatu pusat yang berfungsi untuk kontrol sosial, suatu penciptaan ruang yang efektif. Akhirnya Horace Miner (1967:5-10) mengatakan, bahwa kota sebagai pusat dari kekuasaan.

Pada kesempatan lain John Sirjamaki (1964), menambahkan bahwa yang disebut kota adalah pusat komersial dan industri, merupakan kependudukan-kependudukan dengan tingkat pemerintah sendiri yang diatur oleh pemerintah kota. Kota-kota itu juga merupakan pusat-pusat untuk belajar serta kemajuan kebudayaan. Kemudian Gordon Childe (1952), memberikan tambahan bagi pengertian kota dalam ukuran, heterogennya, pekerjaan umum, dan lainnya, yaitu masalah pengetahuan pertulisan yang merupakan esensi bagi katagorisasi kota yang memberikan ciri perluasan pengetahuan tertentu dan tinggi dari kelompok masyarakat non-agraris. Bahkan Lombard (1976:51) pun tidak ketinggalan memberikan pengertian yang besar maknanya mengatakan, bahwa Asia Tenggara menjadi wilayah yang penting untuk pengkajian budaya, karena wilayah ini merupakan ajang percampuran elemen-elemen kebudayaan Hindu, Budha, Cina, Islam, dan Barat. Suatu aspek penting dari kajian tentang proses akulturisasi yang terjadi di wilayah itu adalah kajian tentang perkembangan kota dan urbanisasi. Pada dasarnya kota memiliki ciri-ciri universal yang berhubungan dengan asal pertumbuhan, lokasi, ekologi, dan unsur sosialnya. Ciri-ciri tersebut terdapat pada kota-kota kuno yang ada antara lain di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara (Kartodirdjo, 1977:1-8).

Sosiologi perkotaan
Apa sosiologi itu? Sosiologi adalah studi empiris dari struktur sosial (kemasyarakatan). Struktur sosial tidak sekedar hanya individu dan perilaku individu. Struktur sosial termasuk di dalamnya kelompok, pola sosial, organisasi, instruksi sosial, keseluruhan masyarakat, dan tentu saja perkotaan. Atau lebih jelasnya ilmu sosiologi adalah yang mengkaji atau menganalisis segi-segi kehidupan manusia bermasyarakat dalam kawasan kota atau perkotaan. Karakter kota dan masyarakat: a. Kota mempunyai fungsi-fungsi khusus; b. Mata pencaharian penduduknya di luar agraris; c. Adanya spesialisasi pekerjaan warganya; d. Kepadatan penduduk; e. Ukuran jumlah penduduk; f. Warganya (relatif) mobility; g. Tempat permukiman yang tampak permanen; dan h. Sifat-sifat warganya yang heterogen, kompleks, social relations yang impersonal dan eksternal, dan lain sebagainya. Kemudian ilmu tersebut berkembang dan berkaitan dengan apa yang dinamakan urban sosiologi (sosiologi perkotaan). Urban sosiologi adalah merupakan sub-disiplin di dalam sosiologi difokuskan pada urban environment (lingkungan perkotaan). Menjelaskan beberapa topik-topik sebagai bagian dari perkembangan perkotaan, struktur perkotaan, jalan kehidupan dalam perkotaan, pemerintahan, dan permasalahan perkotaan. Karena penduduk yang tinggal di perkotaan akan dipengaruhi oleh kota. Untuk memahaminya kita harus mempelajari perkotaan. Berbagai permasalahan berhadapan masyarakat kita berhubungan pada lingkungan urban. Untuk memahami permasalahannya kita perlu mempelajari kota. Dengan belajar bagaimana kota-kota dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan natural kita dapat mengerti link antara nature dan struktur sosial.

Perbedaan Desa dan Kota
Definisi tentang kota tercakup unsur-unsur keluasan atau wilayah, kepadatan penduduk, kemajemukan sosial, pasar dan sumber kehidupan, fungsi administratif, dan unsur-unsur budaya yang membedakan kelompok sosial di luar kota (Jones, 1966:1-8). Para ahli sosiologi pada umumnya memandang kota sebagai permukiman yang permanent, luas, dan padat dengan penduduk yang heterogen (Sirjamaki, 1964:1-8). Lalu bagaimana perbedaan dengan desa. Di kota juga berkembang tradisi besar yang dengan penuh kesadaran ditumbuhkan di pusat-pusat pembelajaran, seperti sekolah, pesantren, dan tempat-tempat peribadatan. Di sisi lain di pedesaan sebetulnya juga tumbuh tradisi kecil, yang bias disebut budaya rakyat. Kota bersifat nonagrikultural, sehingga untuk keperluan penyediaan makanan harus dibina hubungan antara kota dan desa. Penegasan juga dilakukan oleh Redfield (1963:42-43), bahwa tradisi kecil tersebut tumbuh dengan sendirinya di kalangan masyarakat pedesaan tanpa penghalusan-penghalusan yang bias dijumpai pada tradisi kota. Meskipun ada perbedaan-perbedaan antara kota dengan desa, namun kota tak dapat dipisahkan dengan desa sebagai bagian dari suatu sistem yang lebih luas (Sjoberg, 1960:25). Demikian juga Weber (1966:66-67) berpendapat, bahwa salah satu ciri pokok kota ialah, sebagai pusat kegiatan perekonomian. Sementara itu Jones (1966:1-6) menjelaskan bahwa sesuai dengan fungsi dan golongan-golongan yang utama dalam masyarakat, kota dapat dibedakan atas beberapa tipe, antara lain kota dagang, kota keagamaan, dan kota pemerintah.

Penanggulangan Kemiskinan dan Kekumuhan Perkotaan

Penanggulangan Kemiskinan dan Kekumuhan Perkotaan

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan daerah-daerah kumuh di perkotaan. Antara lain:
1. Membuka Balai Latihan Kerja
Salah satu faktor kemiskinan adalah tidak mendapatkan pekerjaan sebagai sumber mata pencaharian. Hal ini dapat dikarenakan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, pendidikan yang rendah atau tidak mempunyai keterampilan kerja yang diharapkan oleh perusahaan. Sehingga mereka yang tidak memenuhi kriteria para pencari kerja akan tersingkir oleh orang-orang yang memiliki keterampilan kerja. Akhirnya mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut dapat diatasi dengan membuka balai latihan kerja yang memberikan pelatihanpelatihan/ keterampilan sesuai dengan kriteria para pencari kerja sehingga mereka menjadi tenaga-tenaga siap kerja yang dibutuhkan para pencari kerja.

2. Aktivitas Hijau Di Lingkungan Kumuh
Daerah yang semestinya menjadi daerah hijau atau daerah resapan banyak yang sudah berubah fungsi menjadi daerah kumuh. Jika digusur bukannya menghilang malah semakin bertambah dan bertambah seperti jamur di musim hujan. Yang perlu dilakukan adalah masyarakat kumuh diberikan penyuluhan dan pembinaan yaitu dengan aktifitas hijau seperti melakukan daur ulang sampah menjadi pupuk atau memilah sampah untuk didaur ulang sehingga dapat memberikan penghasilan untuk dapat menunjang hidup.

3. Membangun Perumahan Murah
Membangun perumahan di bantaran kali, kolong jembatan, ataupun di pinggiran rel kereta api memang tidak dibenarkan. Biaya perumahan yang sangat tinggi itulah yang menjadi alasan mereka untuk membangun tempat tinggal seadanya di daerah –daerah yang tidak semestinya. Untuk itulah peran pemerintah diperlukan untuk membantu menyediakan perumahan/tempat tinggal murah bagi penduduk yang ekonomi-nya masih di bawah standar. (http://webcache:masyarakat11. wordpress. com/2011/01/27kemiskinan dan perkumuhan kumuh diakses tanggal 3/02/2011)

Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk penataan lingkungan permukiman kumuh adalah :
  • Lebih mengefektifkan penertiban administrasi kependudukan bekerja sama dengan perangkat desa yang mewilayahi permukiman kumuh.
  • Penataan kembali lingkungan dengan penyediaan kamar mandi dan jamban umum, program sanimas dan pengelolaan sampah swadaya di permukiman kumuh.
  • Peningkatan perilaku hidup sehat masyarakat
  • Sosialisasi kebijakan pemerintah kota terkait dengan program penataan kembali permukiman kumuh perlu lebih digalakkan dengan melibatkan kelompok masyarakat di permukiman kumuh.

Dalam mewujudkan lingkungan sehat berakar pada upaya perbaikan kualitas lingkungan sosial budaya masyarakat bertumpu pada dua aspek utama yakni :
  • Partisipasi masyarakat untuk mengendalikan nilai-nilai luhur dalam proses kehidupan sosialnya. Dalam bentuk operasional perbaikan lingkungan sosial budaya dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat untuk berprilaku sehat dalam aspek mikro seperti kebersihan rumah tangga, dan lain-lain.
  • Kebijakan pemerintah : melakukan intervensi langsung dalam proses dinamika sosial. (Fuad 1996 : 136).

Konsep-Konsep Kemiskinan

Konsep-Konsep Kemiskinan

Kemiskinan memiliki banyak definisi. Sebagian orang memahami istilah kemiskinan dari perspektif subyektik dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif. Meskipun sebagian besar konsepsi mengenai kemiskinan sering dikaitkan dengan aspek ekonomi, kemiskinan sejatinya menyangkut pula dimensi material, sosial, kultur, institusional dan struktural. Piven dan Cloward (1993) dan Swanso (2001) dalam Edi Suharto, 2009 : 15 - 16 yaitu :
  • Kemiskinan menggambarkan adanya kelangkaan materi atau barang-barang yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti makanan, pakaian dan perumahan.
  • Kesulitan memenuhi kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Seperti pendidikan, kesehatan dan informasi.


Berdasarkan studi SMERU, Suharto (2006 : 132) dalam Edi Suharto 2009 : 16 menunjukkan kriteria yang menandai kemiskinan :
  • Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan)
  • Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik dan mental
  • Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumag tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil
  • Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang memadai dan berkesinambungan.
  • Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi.


Secara konseptual, kemiskinan bisa diakibatkan oleh empat faktor yaitu :
  • Faktor individual. Terkait dengan aspek patologis, termasuk kondisi fisik dan psikologis si miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam mengahadapi hidupnya.
  • Faktor sosial. Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin. Misalnya, diskriminasi berdasarkan usia, gender, etnis yang menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini adalah kondisi sosial dan ekonomi keluarga si miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar generasi.
  • Faktor kultural. Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjukkan pada konsep kemiskinan kultural atau “budaya kemiskinan” yang menghubungkan kemiskinan dengan kebiasaan hidup atau mentalitas. Sikap-sikap negatif seperti malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa wirausaha dan kurang menghargai etos kerja.
  • Faktor struktural. Menunjukkan pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin. Sebagai contoh, sistem ekonomi neoliberalisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan pekerja sektor informal terjerat oleh, dan sulit keluar dari, kemiskinan. Sebaliknya, stimulus ekonomi, pajak dan iklim investasi lebih menguntungkan orang kaya dan pemodal asing untuk terus menumpuk kekayaan. Edi Suharto (2009 : 18).


Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, David Cox (2004 : 1-6) dalam Edi Suharto (2009 : 18-19) membagi kemiskinan dalam beberapa dimensi yaitu :
  • Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi melahirkan negara pemenang dan negara kalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.
  • Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsistem (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan perdesaan (kemiskinan akibat peminggiran perdesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).
  • Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas akibat kondisi sosial yang tidak menguntungkan mereka, seperti bias gender, diskriminasi atau eksploitasi ekonomi.
  • Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.



Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. 
Dinas Sosial mendefinisikan orang miskin adalah mereka yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka yang layak bagi kemanusiaan dan mereka yang sudah mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan.

Penyebab kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi dua (2) golongan :
  • Kemiskinan yang ditimbulkan oleh faktor alamiah, yaitu kondisi lingkungan yang miskin, ilmu pengetahuan yang tidak memadai, adanya bencana alam dan lain-lain. Dengan kata lain kemiskinan yang disebabkan mereka memang miskin.
  • Kemiskinan yang disebabkan faktor non alamiah, yaitu adanya kesalahan kebijakan ekonomi, korupsi, kondisi politik yang tidak stabil, kesalahan pengelolaan sumber daya alam.


Namba A. (2003) menyatakan bahwa kemiskinan yang disebabkan kesalahan pengelolaan sumberdaya alam sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem lebih sulit diatasi dibandingkan penyebab kemiskinan yang lain. Karena kemiskinan yang disebabkan kerusakan ekosistem permasalahnya sangat komplek dan rumit.

Profil kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik ekonominya seperti sumber pendapatan, pola konsumsi/pengeluaran, tingkat beban tanggungan dan lain-lain. Juga perlu diperhatikan profil kemiskinan dari karakteristik sosial-budaya dan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikan, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih dan sebagainya.

Penyebab Penyebab Kemiskinan

Penyebab Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya tetapi masih banyak di temui permukiman masyarakat miskin hampir setiap sudut kota. Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan.
Berikut salah satu penyebab kemiskinan :

  • Kurangnya lapangan pekerjaan yang tersediakan : Jumlah lapangan pekerjaan tidak seimbang dengan jumlah penduduk yang ada dimana lapangan pekerjaan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Penyebab kemiskinan di kota-kota besar hampir sama disetiap Negara.
  • Daerah Kumuh : Dampak dari kemiskinan yang ada di kota besar, kini muncul daerah-daerah kumuh hampir dapat di temui di pinggiran kota maupun di setiap sudut kota. Dengan bangunan dan lahan seadanya, mereka membangun tempat tinggal di bantaran kali, pinggiran rel kereta api dan kolong jembatan.


Daerah slum adalah daerah yang sifatnya kumuh tidak beraturan yang terdapat di kota atau perkotaan.  Daerah slum umumnya dihuni oleh orang-orang yang memiliki penghasilan sangat rendah, terbelakang, pendidikan rendah, jorok, dan lain sebagainya. Banyak terdapat daerah slum baik di tengah maupun pinggiran kota. Berikut ini adalah ciri-ciri daerah slum :

  • Banyak dihuni oleh pengangguran
  • Tingkat kejahatan / kriminalitas tinggi
  • Demoralisasi tinggi
  • Emosi warga tidak stabil
  • Miskin dan berpenghasilan rendah
  • Daya beli rendah
  • Kotor, jorok, tidak sehat dan tidak beraturan
  • Warganya adalah migran urbanisasi yang migrasi dari desa ke kota
  • Fasilitas publik sangat tidak memadai
  • Warga slum yang bekerja kebanyakan adalah pekerja kasar dan serabutan
  • Bangunan rumah kebanyakan gubuk / gubug dan rumah semi permanen.

Strategi Pengentasan Kemiskinan

Strategi Pengentasan Kemiskinan

Penanganan masalah kemiskinan harus dilakukan secara menyeluruh dan kontekstutal, menyeluruh berarti menyangkut seluruh penyebab kemiskinan, sedangkan kontekstual mencakup faktor lingkungan si miskin. 
Untuk dapat merumuskan kebijakan yang tepat dalam menangani kemiskinan perlu pengkajian yang mendalam tentang profil kemiskinan itu sendiri. Sehingga aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat sesuai dengan karakteristik masayarakat tersebut dan dapat berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan (sustainable).

Beberapa kebijakan yang disarankan untuk tetap ditindaklanjuti dan disempurnakan implementasinya adalah :

1. Perluasan Akses Kredit Masyarakat
Penyediaan fasilitas kredit merupakan salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk mengurangi kemiskinan, terutama pada tataran implementasinya. Namba (2003) bahwa instrumen kebijakan pembangunan lebih efektif mereduksi kemiskinan secara tajam dibanding dengan mengandalkan masyarakat hidup dari sumber-daya alam yang kaya-raya tanpa ditunjang dengan kebijakan yang memihak pada masyarakat miskin. Artinya jika masyarakat yang tinggal di lingkungan kaya akan sumberdaya alam dan mendapat kebijakan yang menyentuh mereka, maka mereka akan lebih bijak dan peduli dalam mengolah sumberdayanya. (Baden: 1993) Yunus dalam Mubyarto (2003) mengenalkan model kredit mikro yang telah berhasil diterapkan di Bangladesh yang terkenal dengan nama Grameen Bank. Sekitar 10 kelompok perempuan miskin, masing-masing beranggota 5 orang, ketika kita mendekati tempat pertemuan mereka, mengucapkan sumpah/janji berupa “16 keputusan” (sixteen decisions) antara lain melaksanakan KB, mendidik anak, hanya minum air putih yang dimasak atau air sumur yang sehat, dan menahan diri dari membayar atau memakai “mahar” dalam perkawinan anak-anaknya. Semua sumpah/janji ini dapat diringkas dalam 4 asas hidup Grameen Bank, yaitu disiplin, bersatu, berani, dan bekerja keras. Grameen Bank yang mulai beroperasi tahun 1976, lima (5) tahun setelah kemerdekaan Bangladesh, telah terbukti dapat mengurangi angka kemiskinan di negara tersebut.

2. Peningkatan Tingkat Pendidikan Masyarakat
Kualitas sumberdaya manusia sangat terkait dengan pendidikan masyarakat. Kebijakan Wajib belajar sembilan tahun kiranya patut ditinjau ulang untuk ditingkatkan menjadi dua belas tahun, sehingga tuntutan minimal masyarakat berpendidikan SMA. Kebijakan ini perlu diiringi dengan kebijakan lain yang dapat menampung dan mengatasi anak putus sekolah yang cenderung menjadi anak jalanan. Dengan meningkatnya pendidikan masyarakat kualitas sumberdaya manusia menjadi lebih baik sehingga kesadaran masayarakat akan masa depan menjadi lebih baik. Kondisi ini akan mendorong masyarakat untuk lebih berkreasi dalam meningkatkan taraf hidupnya. 

3. Menciptakan Lapangan Kerja
Untuk mengimbangi meningkatnya pendidikan masyarakat pemerintah perlu menciptakan lapangan kerja. Menciptakan lapangan kerja dapat dilakukan dengan meningkatkan saving (S) dan investasi (I), baik investasi domestik maupun foreign direct invesment (FDI).

4. Membudayakan Entrepreneurship
Dengan membudayanya sikap Entrepreneurship pada masyarakat diharapakan masyarakat dapat berpartisipasi dalam mengurangi angka pengangguran, sebab mereka dapat menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri dan orang lain. Dengan kata lain peran entrepeneur sangat besar, yaitu: (1) menambah produksi nasional(2) menciptakan kesempatan kerja (3) membantu pemerintah mengurangi pengangguran (4) membantu pemerintah dalam pemerataan pembangunan (5) menambah sumber devisa bagi pemerintah (6) menambah sumber pendapatan negara dengan membayar pajak.

Teori Pemberdayaan Masyarakat

Teori Pemberdayaan Masyarakat

Menurut  Sumodiningrat (2001) paradigma pembangunan  secara keseluruhan sejak Repelita IV bergeser kearah tercapainya pembangunan yang berpusat pada  manusia ( people centered development ). Pelaksanaan paradigma tersebut harus dituangkan dalam kebijaksanaan baru pembangunan nasional yang mensyaratkan  adanya upaya-upaya perpihakan dan pemberdayaan yang luas dalam masyarakat. Pembangunan yang berpusat pada manusia  juga di jelaskan  oleh Handrianto (1996),  bahwa pendekatan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (individu/kelompok) merupakan suatu pola pendekatan yang mendahulukan masyarakat sebagai pelaku utama (subyek) pembangunan didasarkan pada  aspirasi, kepentingan/kebutuhan, kemampuan dan upaya masyarakat.

Selanjutnya Sumodiningrat (2001),  menyatakan pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki untuk menentukan pilihan kegiatan yang paling seusai bagi kemajuan diri mereka masing-masing. Lebih  lanjut Kartasasmita (1996), menyatakan bahwa memberdayakan adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan  masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap  kemiskinan dan keterbelakangan atau dengan kata lain memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.

Dari pendapat diatas maka dapat di simpulkan bahwa pemberdayaan adalah suatu upaya untuk memandirikan masyarakat  lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki untuk menentukan pilihan kegiatan yang paling seusai bagi kemajuan diri mereka masing-masing.

Upaya untuk memandirikan  masyarakat melalui  perwujudan potensi untuk menetukan pilihan kegiatan yang paling sesuai juga  di tegaskan oleh Siswanto (1997), yang menyatakan  bahwa secara empirik, banyak studi menunjukan bahwa masyarakat lebih mampu mengindentifikasi, menilai dan memformulasikan permasalahannya baik fisik, sosial kultur maupun ekonomi dan kesehatan lingkungan, membangun visi dan aspirasi dan kemudian memprioritaskan, intervensi, merencana, mengelola, memonitor dan bahkan memilih tehnologi yang tepat.

Upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat  juga di tegaskan oleh Merriam (1985),  yang mengemukakan bahwa pemberdayaan   mengandung dua pegertian yaitu  ;
  • Upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan, agar kondisi kehidupan masyarakat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan.
  • Memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuasaan atau mendelegasikan otoritas kepada masyarakat agar masyarakat memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan dalam rangka membangun diri dan lingkungannya secara mandiri.


Dari pendapat-pendapat diatas maka dapat  di artikan bahwa pemberdayaan merupakan pendekatan pembangunan yang mengutamakan  masyarakat sebagai  pelaku utama proses pembangunan dengan cara  meningkatkan kemampuannya dan memberikan kewenangan dalam mengambil keputusan dalam rangka membangun diri dan lingkungannya secara mandiri.

Menurut Setiawan (2003), terdapat lima variabel penting dalam pembangunan masyarakat, antara lain :
  • Inisiatif; Siapa yang mempunyai prakarsa ? Inisiatif pembengunan dapat keluar dari komunitas maupun dari luar komunitas. Idealnya inisiatif tersebut selalu keluar dari dalam komunitas. Meskipun demikian, inisiatif dapat datang dari luar komunitas, sejauh komunitas tersebut setuju.
  • Tujuan; Bagaimana tujuan dirumuskan ? Tujuan seaiknya dirumuskan oleh komunitas itu sendiri dan benar-benar merupakan tujuan mereka.
  • Sumberdaya; Lokal atau luar ? Idealnya, pembangunan masyarakat yang benar akan memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya lokal. Hal ini akan mengurangi ketergantungan komunitas terhadap pihak luar. Meskipun demikian, pada prakteknya hal ini tidak selalu mudah.
  • Proses; Bagaimana kontrol komunitas ? Diharapkan masyarakat mempunyai kontrol yang sepenuhnya mulai dari perumusan masalah, usulan kebijakan,implementasi serta evaluasi.
  • Output; Untuk siapa ? Diharapkan masyarakat akan mendapatkan output yang maksimal dari proses pembangunan tersebut.


Berdasarkan variabel – veriabel tersebut, selanjutnya menurut Setiawan (2003) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kesuksesan dan kegagalan pembangunan masyarakat. Faktor tersebut dapat dikelompokkan dalam dua katagori yakni faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor dari dalam komunitas yang berpengaruh dalam program pembangunan masyarakat.
Hal ini meliputi empat hal, yakni:
a) sejarah komunitas,
b) berkaitan dengan struktur dan kapasitas organisasi,
c) terkait dengan sumberdaya yang dimiliki komunitas,
e) berkaitan dengan kepemimpinan dalam komunitas itu sendiri.

2. Faktor eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar komunitas yang berpengaruh terhadap pembangunan masyarakat. Hal ini meliputi dua aspek, yakni :
a) menyangkut sistem sosial politik makro dimana komunitas   berada,   
b) berkaitan dengan ada atau tidaknya agen-agen perantara yang dapat menjadi penghubung antara komunitas dengan dunia atau pihak-pihak luar.